PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. PENGERTIAN
KONSUMEN
Konsumen yaitu beberapa orang yang
menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka gunakan
atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan dan perkembangan
perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan
nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang didukung oleh
kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas ruang gerak
arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara,
sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik produksi luar
negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak
mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau
jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan
untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan
keinginan dan kemampuan konsumen.
2. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada
sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam
implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas,
hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
A.
Asas
perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima
asas perlindungan konsumen.
·
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
·
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
·
Asas
keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun
spiritual.
·
Asas keamanan
dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·
Asas kepastian
hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
B. Tujuan
perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3,
disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
·
Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·
mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.
·
Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
·
Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
·
Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·
Meningkatkan
kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen
memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen
sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan
mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap
dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa
bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU
Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
·
Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·
Hak untuk
memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan .
·
Hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
·
Hak untuk
didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
·
Hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
·
Hak untuk
mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
·
Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
·
Hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga
terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum,
sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang
disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang
dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5
tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen
dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang
merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan
apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana
konsumen memperjuangkan hak-haknya.
B.
Kewajiban
Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal
5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
•
Membaca atau
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
•
Beritikad baik
dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
•
Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati;
•
Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4. HAK DAN
KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen,
pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.
hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.
hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
3.
hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
4.
hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.
beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.
memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.
memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4.
menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.
memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6.
memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.
memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak
bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban
konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi
oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang
akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad
baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
5.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK.
Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.
larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.
larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.
larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai
dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
·
tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
·
tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·
tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
·
tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
·
tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·
tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
·
tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
·
tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
·
tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan
tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada
UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki
pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain
tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad
baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik
melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain
itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang
jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai
berikut:
Ø
Rusak:
sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Ø
Cacat:
kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
Ø
Bekas:
sudah pernah dipakai.
Ø
Tercemar:
menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan
rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah
tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan,
namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda
tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu
dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan
terakhir dari pasal ini adalah:
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
6.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi,
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan
perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang
nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19
mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan
atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20
dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut
hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand
diderita konsumen, apabila :
·
barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan ;
·
cacat
barang
timbul pada kemudian hari;
·
cacat
timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
·
kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen ;
·
lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang
diperjanjikan
7.
SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Masyarakat boleh merasa
lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun
bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah
mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula
para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan
Konsumen ini.
Dalam pasal 62
Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah
diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha
diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard
rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang
rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan
klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b
) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan
pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha
masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha,
yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian
barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam
nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar
atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai
pidana, selama 5 (lima) tahun penjara, pencantuman klausula
tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU
no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi
seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”
automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya,
masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini
peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman
klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara
penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang
tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas
bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku
usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda
paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat
penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa
dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku
usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan
kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan
hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan
pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab
pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak
Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata
:
·
Ganti
rugi dalam bentuk :
·
Pengembalian
uang atau
·
Penggantian
barang atau
·
Perawatan
kesehatan, dan/atau
·
Pemberian
santunan
·
Ganti
rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi :
maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
·
Kurungan
:
·
Penjara,
5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13
ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
·
Penjara,
2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13
ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
·
Ketentuan
pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
·
Hukuman
tambahan , antara lain :
·
Pengumuman
keputusan Hakim
·
Pencabuttan
izin usaha;
·
Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa ;
·
Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa;
·
Hasil
Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
SUMBER
:
http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=sanksi
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=33
http://www.turnudy.com
http://www.wikipedia.com
http://gustinkartikarachman.blogspot.com/p/hukum-perlindungan-konsumen.html
ANTI MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT
1.
Pengertian
Pasar Monopoli adalah suatu
bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu
harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai"monopolis".
Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau
mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi;
semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut,
begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu
keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan
menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi
(pengganti) produk tersebut.
2.
Azas dan Tujuan
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh
kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan
persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting
competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3.
Kegiatan yang dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal
17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi
kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita
dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah
aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang
merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah
merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak
sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang
bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar
yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak dan atau
menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada
pasar yang bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau
pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya;
c. membatasi peredaran
dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik
diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha
dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi
kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu
keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa
tertentu.
6. Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan
bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau
komisaris pada perusahaan lain.
7. Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa
perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat
bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan
bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang
menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari
keuntungan.
4.
Perjanjian yang dilarang
1.
Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang
hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat
mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan harga
Dalam
rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :
a. Perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
b. Perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga
yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c. Perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak
menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga
lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar
terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha
yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan
atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam
suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertical
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam
satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar
negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5.
Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal Yang Dikecualikan Dari Undang-Undang Anti Monopoli
I. Perjanjian yang dikecualikan
a. Hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak
cipta
b. Waralaba
c. Standar teknis produk barang dan atau jasa
d. Keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok
e. Kerjasama pnelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
f. Perjanjian internasional
II. Perbuatan yang
dikecualikan
a. Perbuatan pelaku usaha yang tergplong dalam pelaku usaha
b. Kegiatan usaha koperasi uang khusus melayani anggotanya
III. Pebuatan dan atau
perjanjian yang diperkecualikan
a. Pebuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan UU
b. Pebuatan dan atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor
6.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di
Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5
tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU
menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
- Perjanjian
yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa
yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory
pricing,
pembagian wilayah, kartel, trust
(persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
- Kegiatan
yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui
pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
- Posisi
dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya
untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat
bisnis pelaku usaha lain.
7.
Sanksi
Apabila importir tersebut terbukti melakukan kartel atau
kecurangan lain, maka akan dikenakan sanksi. Sanksi tersebut dapat berupa denda
dan atau sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.
Sumber :
http://ireneaulia.blogspot.com/2013/04/bab-11-anti-monopoli-dan-persaingan.html
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa
Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi
atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau
organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu
Winardi mengemukakan :
“Pertentangan atau konflik yang terjadi antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.”
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
“Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak
atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan
atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.”
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan
bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang
dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum
bagi salah satu diantara keduanya
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan
untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu
persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian
sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi
(perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan
usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak
melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry
(penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang
tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices
(jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik
jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung
persengketaan yang terjadi diantara mereka. Penyelesaian perkara perdata
melalui sistem peradilan:
Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan
kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens)
untuk perkara di pengadilan.
NEGOSIASI
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial
saat pihak – pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan
yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu
cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak
mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang
berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.Termasuk di
dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau
memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu
- Beberapa
pengertian Negosiasi
Proses yang melibatkan upaya seseorang untuk
mengubah (atau tak mengubah) sikap dan perilaku orang lain.
Proses untuk mencapai kesepakatan yang
menyangkut kepentingan timbal balik dari pihak-pihak tertentu dengan sikap,
sudut pandang, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain.
Negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara
dua pihak: pihak kita dan pihal lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama
mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.
- Pola
Perilaku dalam Negosiasi
- Moving
against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui,
menunjukkan kelemahan pihak lain.
- Moving
with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui,
membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
- Moving
away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi
pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
- Not
moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada
“here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.
- Mampu
melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
- Mampu
menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang
terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
- Mampu
mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan
tuntutan di luar perhitungan.
- Mampu
mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami
sepenuhnya gagasan yang diajukan.
- Cepat
memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri
dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.
- Fungsi
Informasi dan Lobi dalam Negosiasi
- Informasi
memegang peran sangat penting. Pihak yang lebih banyak memiliki informasi
biasanya berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.
- Dampak
dari gagasan yang disepakati dan yang akan ditawarkan sebaiknya
dipertimbangkan lebih dulu.
- Jika
proses negosiasi terhambat karena adanya hiden agenda dari salah satu/
kedua pihak, maka lobyingdapat dipilih untuk menggali hiden agenda yang
ada sehingga negosiasi dapat berjalan lagi dengan gagasan yang lebih
terbuka.
MEDIASI
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator
yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses
musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah
atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak
sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala
sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
- Setelah
perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian
majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan
mediasi.
- Setelah
pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator
berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
- Selanjutnya
mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini
diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian
masing-masing pihak yang berperkara.
- Mediator
bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari
ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
Mediator adalah pihak netral yang membantu para
pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
- Netral
- Membantu
para pihak tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian.
- Mediator
wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk
dibahas dan disepakati.
- Mediator
wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses
mediasi.
- Apabila
dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah
selama proses mediasi berlangsung.
- Mediator
wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para
pihak.
ARBITRASE
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif
penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada
pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare”
(bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara
menurut kebijaksanaan”.
- Azas
kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau
beberapa oramg arbiter.
- Azas
musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara
musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter
itu sendiri;
- Azas
limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan
melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang
perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
- Azas
final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir
dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi
banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para
pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan
arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang
perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan
suatu putusan yang cepat dan adil, Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang
berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
PERBANDINGAN ANTARA PERUNDINGAN, ARBITRASE DAN LIGITASI
- Negosiasi
atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa
dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan
kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win
solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa
melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur
litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin
akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah
pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan
menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
2. Biaya yang relatif lebih murah
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
3.Kurangnya kepastian hokum Hakim yang “awam”
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang
mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi
swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang
arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah
“klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa
akibat perjanjian tersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa
tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian
sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa
para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan
kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut
tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara
tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya
klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh
para pihak yang bersengketa.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang
dihasilkan akan lebih cermat.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase
bersifat final dan mengikat para pihak.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus
ditanggung para pihak
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan
ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa
bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)
SUMBER :
http://myblogrezafauzi.blogspot.com/2012/06/penyelesaian-sengketa-ekonomi.html